Sejarah Desa


LATAR BELAKANG
Penentuan perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur telah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada jaman penjajahan. Penentuan perbatasan oleh Belanda dilakukan tanpa pertimbangan yang mendalam. Yang menjadi patokan perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah hanya didasarkan kepada keadaan geografisnya saja yaitu sungai. Di bagian selatan yang menjadi batas adalah Sungai Ci Jolang dan di bagian utara yang menjadi batas adalah sungai Ci Pamali. Namun karena dianggap tidak penting oleh pemerintah Indonesia di masa kemerdekaan ini, perbatasan tersebut tidak diperbaharui. Perbatasan yang digunakan sama dengan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada jaman penjajahan.

Penentuan perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat didasarkan kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2009. Pada prinsipnya menggunakan karakteristik geografis dalam menentukan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah sama seperti yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat masih menjajah Indonesia yaitu menggunakan Sungai Ci Jolang di bagian selatan dan sungai Ci Pamali di bagian utara.

Penentuan perbatasan yang demikian ternyata mendatangkan permasalahan. Karena penentuan perbatasan tidak didasarkan kepada budaya masyarakat terutama yang berada di wilayah perbatasan, terdapat beberapa daerah pemukiman yang masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah namun masyarakat yang bersangkutan memiliki kebudayaan masyarakat Sunda. Mulai dari adat kebiasaan, bahasa yang digunakan, dan kesenian. Padahal selama ini Jawa Barat identik dengan leluhur etnik Sunda dan Jawa Tengah identik dengan leluhur etnik Jawa.

Salah satu daerah yang terdapat di wilayah Jawa Tengah namun memiliki adat istiadat Sunda adalah Desa Penanggapan. Penanggapan merupakan sebuah desa yang terdapat dalam wilayah administratif Kecamatan Banjarharja, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Selain lebih dekat ke kultur etnik Sunda, secara geografis Desa Penanggapan juga jauh lebih dekat ke Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dibandingkan dengan Kecamatan Banjarharja, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Jarak antara Desa Penanggapan dengan Kecamatan Cibingbin tidak lebih dari 5 kilometer.

Pada jaman dahulu Desa Penanggapan merupakan sebuah hutan belantara atau dikenal dengan istilah leuweung hideung atau tanah pagedongan. keadaan tofografinya dikelilingi oleh perbukitan dan gunung-gunung kecil. Sebelah timur Bukit Cikabuyutan, sebelah barat Bukit Ciomas, sebelah selatan Gunung Kendeng dan sebelah utara Gunung Gegerhalang.

Menurut sejumlah keterangan dari tokoh masyarakat, Desa Penanggapan sebenarnya termasuk ke dalam Tanah Sunda, tepatnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan. Kurang lebih pada tahun 1870 di daerah yang pada saat ini berdiri Desa Penanggapan, terdapat sebuah pakuwon (kampung) yang dipimpin oleh Kuwu Asmarudin. Kuwu adalah sebutan untuk kepala desa di wilayah etnik Sunda. Namun karena perbuatan Pemerintah Belanda yang menentukan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Timur hanya dengan menggunakan Sungai Ci Pamali tanpa mempertimbangkan kultur masyarakat setempat, Desa Penanggapan akhirnya masuk ke dalam wilayah Jawa Tengah.

Walaupun sudah masuk ke wilayah etnik Jawa yang terhitung cukup lama sejak jaman penjajahan, sampai saat ini warga Desa Penanggapan tetap memegang teguh kultur dalam kehidupan masyarakat Sunda baik bahasa yang dipakai sehari-hari yaitu Bahasa Sunda bahkan kesenian. Di Penanggapan, kesenian Sunda yang masih berkembang yaitu degung, calung, kliningan, wayang golek, reog, jaipongan serta kesenian Sunda lainnya dan sama sekali tidak menggunakan kultur Jawa seperti bahasa dan keseniannya.

Struktur dan Kelembagaan Desa Penanggapan
Struktur pemerintahan dan kelembagaan di Desa Penanggapan tidak jauh berbeda dengan desa-desa pada umumnya baik dengan desa di wilayah Jawa Barat ataupun dengan desa di wilayah Jawa Tengah. Yang membedakannya dengan desa-desa lain di wilayah Jawa Tengah adalah luas tanah bengkok. Di Desa Panganggapan, luasan tanah garapan atau disebut tanah bengkok untuk carik atau para pamong desa tidak jauh berbeda dengan desa yang ada yang di wilayah Kabupaten Kuningan.

Hal ini menunjukan ada juga kedekatan dalam kelembagaan pemerintahan desa dengan wilayah Kuningan, Jawa Barat. Pada umumnya, luas tanah bengkok di wilayah Provinsi Jawa Tengah tidak lebih dari 1.000 tumbak (bata, 1 bata = 14m2). Sedangkan di Desa Penanggapan luas tanah bengkok bisa mencapai 12.000 tumbak atau sekitar 16,8 hektar. Luasan tanah bengkok tersebut sebanding dengan dengan lahan bengkok di desa-desa yang ada di wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa, terdapat beberapa kriteria calon kepala desa yang cukup unik dibandingkan dengan desa-desa lain yang ada di Kecamatan Banjarharja, Brebes. Kriteria tersebut yaitu calon kepala desa harus memiliki karakter yang nyunda, nyantri, dan nyakola.

Menurut Pak Raksa, salah seorang tokok masyarakat di Desa Penanggapan, nyunda artinya seorang calon kepala desa harus mengetahui dan memahami mengenai tatanan nilai dan budaya etnik Sunda, khususnya budaya masyarakat Desa Penanggapan, seni, adat istiadat dan tentu saja bahasanya yaitu bahasa Sunda. Sedangkan nyantri artinya seorang calon kepala desa harus orang yang mengerti, paham dan berpegang teguh serta taat kepada ajaran-ajaran agama Islam. Sedangkan nyakola artinya seorang calon kepala desa bukan hanya sebatas orang yang berpendidikan yang tinggi saja akan tetapi diharapkan oleh masyarakat yang sehat, baik, benar, pintar dan cakap.
Kriteria yang mengharuskan calon kepala desa yang nyunda adalah karena masyarakat Desa Penanggapan menginginkan pemimpinnya berasal dari kalangan etnik Sunda terutama yang memahami dan menjalankan budaya Sunda. Hal ini agar kepala desa yang terpilih tetap mengayomi budaya Sunda. Sehingga kekentalan budaya Sunda di Desa Penanggapan tetap terjaga. Menurut Pak Raksa, yang terpenting adalah dengan kriteria nyunda, nyantri dan nyakola, diharapkan kepala desa yang terpilih akan mampu untuk memimpin masyarakat dan memajukan masyarakat di Desa Penanggapan.


Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penanggapan
Kehidupan masyarakat Desa Penanggapan lebih dekat dengan kehidupan masyarakat Cibingbing, Kuningan di Jawa Barat dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Banjarharja, Brebes di Jawa Tengah. menurut penuturan seorang tokoh masyarakat yang bernama Pak Tadun, kehidupan masyarakat Desa Penanggapan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Cibingbin baik dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Apalagi ditambah dengan jarak antar wilayah yang cukup antara Penanggapan dan Cibingbin, akan semakin tidak terpisahkan.

Untuk berbelanja membeli kebutuhan sehari-hari, masyarakat Desa Penanggapan lebih memilih berbelanja ke pasar yang ada di ibukota Kecamatan Cibingbin, Kuningan daripada berbelanja ke Kecamatan Banjarharja, Brebes. Hal ini karena selain jarak tempuh ke Cibingbin yang jauh lebih dekat dibandingkan dengan Banjarharja, juga karena ongkos angkutan pun jauh lebih murah sehingga lebih ekonomis dan efisien. Untuk pergi ke Banjarharja dari Desa Penanggapan, masyarakat harus mengeluarkan ongkos pulang pergi sebesar Rp 17.000,-. Sedangkan ongkos ke Cibingbin hanya Rp 4.000,-.
Saat ini belum ada angkutan umum yang menuju ke Cibingbin. Jika masyarakat Desa Penanggapan ingin pergi ke Cibingbin, mereka menggunakan jasa angkutan mobil pick up. Untuk kembali ke Desa Penanggapan, masyarakat pun menggunakan alat angkutan yang sama. Apabila terjadi hujan, biasanya angkutan mobil pick up tersebut dipasangi atap dari terpal sehingga apabila terjadi penumpangnya tidak basah.

Dalam masalah pendidikan, terutama pendidikan pada tingkat sekolah lanjutan setelah sekolah dasar, pada umumnya masyarakat Desa Penanggapan lebih memilih bersekolah di SMP dan SMA yang ada di Cibingbin, Kabupaten Kuningan. Di wilayah Desa Penanggapan baru ada sekolah dasar. SMP dan SMA belum ada di sana. Karena anak-anak Desa Penanggapan memilih bersekolah di SMP dan SMA yang ada di Cibingbin, Kuningan maka mereka pun belajar budaya Sunda. Hal ini merupakan peluang kepada masyarakat Desa Penanggapan agar generasi mudanya tidak melupakan budaya Sunda yang menjadi budaya leluhurnya. Sebaliknya, apabila sekolah di wilayah Jawa Tengah maka mau tidak mau harus mempelajari budaya Jawa. Dengan cara demikian, budaya Sunda atau Kasundaan di Penanggapan setidaknya sampai saat ini tidak luntur.


Sebenarnya masyarakat Desa Penanggapan merasa di anak tirikan. Perasaan tersisihkan tersebut didasarkan dari beberapa permasalahan. Masyarakat Desa Penanggapan berada di wilayah Jawa Tengah namun tidak diakui sebagai etnis Jawa karena tidak bisa berbahasa Jawa sedangkam oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak diakui karena di luar wilayah administrasi Jawa Barat.
Dari segi pembangunan, masyarakat Desa Penanggapan terkadang menginginkan juga dengan apa yang diperoleh masyarakat di desa tetangga seperti masyarakat Cibingbin, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Menurut penuturan Pak Raksa selaku tokoh masyarakat Penanggapan, pada saat proyek pemasangan listrik, tetangganya yang masuk ke dalan wilayah Kuningan tidak harus membayar biaya pemasangan listrik karena sudah ditanggung oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program bantuan gubernur. Sedangkan masyarakat Desa Penanggapan harus mengeluarkan biaya untuk membayar pemasangan listrik tersebut. Biaya tersebut harus mereka peroleh dengan cara mengerahkan segala daya dan upaya dalam keadaan yang serba kekurangan. Rata-rata masyarakat desa harus menggeluarkan biaya sebesar dua juta rupiah.

Keadaan tersebut membuat mereka merasa di anak tirikan. Yang tetap membuat bangga masyarakat Desa Penanggapan adalah adanya pengakuan selayaknya orang Sunda walaupun tinggal di wilayah yang berbeda secara administrasi.

Harapan para tokoh masyarakat di Desa Penanggapan, jangan sampai masyarakat Sunda lainnya melupakan keberadaan masyarakat Penanggapan yang juga bagian dari masyarakat Sunda. Masyarakat Desa Penanggapan merasa tidak bisa dipisahkan dari Tanah Sunda yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Padjadjaran, kerajaan Sunda terbesar di masa lampau. Para tokoh masyarakat ingin budaya Sunda di Penanggapan masuk ke dalam tatanan budaya Kuningan. Orang Penanggapan tidak mau dilupakan sebagai bagian dari mayarakat Sunda. Orang Penanggapan betul-betul asli orang Sunda dan sama sekali tidak mau disebut sebagai orang Jawa karena jiwa raga mereka sepenuhnya nyunda.
Karena merasa bagian dari orang Sunda, banyak penduduk Desa Penanggapan yang pindah ke wilayah Jawa Barat terutama ke Cibingbin. Baru-baru ini kira-kira 85 kepala keluarga pindah ke Kampung Sukamulya, Desa Cibingbin yang berbatasan langsung dengan Desa Penanggapan. Ada beberapa yang beralasan bahwa tidak lahan yang bisa dibeli di Desa Penanggapan untuk dijadikan tempat tinggal. Lepas dari permasalahan tersebut, masyarakat Desa Penanggapan tidak punya keinginan untuk memisahkan Desa Penanggapan secara administratif dari Jawa Tengah. Menjadi bagian dari Jawa Tengah ataupun Jawa Barat secara administratif tidak menjadi halangan. Yang terpenting masyarakat Desa Penanggapan ingin tetap diakui sebagai orang Sunda karena mereka merasa di dalam diri mereka mengalir darah sebagai orang Sunda

8 comments:

  1. NU penting mah jalan perbatasan dukuh jati-sukamulya Cibingbin di hidupkan lagi jangan seselempet begitu. Sya mohon KA bpa Kuwu lah.

    ReplyDelete
  2. Katanya penanggapan pidahan dari dukuh jaer sama cilumbung yg sekarng jadi bendungan malahayu. Tapi di artikel ini menulis taun 1870 di daerah penanggapan sudah ada pakuwon(kampung) yg di pimpin oleh bp kuwu asmarudin. Pengen tau aja gan. Perpindahah dari cilumbung dan djkuh jaer tahun berapa gan? Karna katanya bendungan malahayu selesai di bangun tahun 1935 .

    ReplyDelete